Home » , » Infiltrasi

Infiltrasi

Written By Administrator on Senin, 04 Oktober 2010 | 17.32

Sejak awal, ide-ide sekuler-liberal memang tidak sesuai dengan kepribadian diri masyarakat Indonesia pada umumnya.  Memang benar, sebagaimana bangsa-bangsa lainnya, bangsa Indonesia pun tidak semuanya taat pada agama yang dipeluknya masing-masing.  Tapi umumnya memiliki keyakinan religius yang kuat.  Oleh karena itu, ide-ide sekuler-liberal perlu mengambil bentuk yang lebih ‘ramah’ agar lebih mudah diterima di tanah air.

Fenomena Jaringan Islam Liberal (JIL) dan sejenisnya yang kita jumpai sekarang ini adalah hasil dari kaderisasi bertahun-tahun.  Prosesnya cukup rapi dan terencana, dibantu oleh sumber dana yang kuat.

Fase awal dari infiltrasi pemikiran ini dimulai dengan gerakan misionarisme dan penyebaran pemikiran kaum orientalis.  Misi ini mendapat sokongan penuh dari pemerintah kolonial.  Tentu saja, penjajah memiliki kepentingan tersendiri untuk memisahkan umat Islam dari agamanya.  Hal ini dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan mempertentangkan Islam dengan adat-istiadat.

Pertentangan antara adat dan agama bisa dilihat pada fenomena yang banyak terjadi di Jawa.  Prof. Rasjidi, Menteri Agama RI yang pertama, pernah meneliti kitab-kitab seperti Darmogandul dan Gatoloco; keduanya adalah kitab yang dikenal luas di kalangan masyarakat Jawa.  Menurut hasil penelitian beliau, kedua kitab tersebut sangat kental sekali rekayasanya, karena penuh caci maki terhadap Islam dan juga mengandung sisipan ajaran Kristen.  Sebagai hasil dari propaganda bertahun-tahun, adat Jawa cenderung sulit dipersatukan dengan Islam, meski masyarakatnya tidak menentang secara frontal.  Pada saat yang bersamaan, kristenisasi juga marak terjadi di Jawa.  Susiyanto, seorang peneliti muda, telah membicarakan masalah ini dalam bukunya yang berjudul Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa.

Kita juga melihat rekayasa sejarah yang menampilkan seolah-olah di Jawa tidak ada pahlawan yang kuat latar belakang keislamannya.  Contoh terbaik dalam hal ini adalah Pangeran Diponegoro.  Menurut ‘pakem’ dalam sejarah yang dikenal sekarang ini, beliau disebut-sebut melawan Belanda karena tanah leluhurnya diambil paksa.  Hamka sudah lama menyanggah pendapat ini.  Menurut beliau, Pangeran Diponegoro adalah Raja Jawa yang berjuang menegakkan syariat Islam.  Bukti gampangnya adalah bahwa beliau tak pernah digambarkan sebagai sosok lain selain dengan jubah dan sorbannya.  Hingga kini pun kita tak menjumpai Raja-raja Jawa yang berpakaian seperti demikian.  Jelaslah bahwa identitas Pangeran Diponegoro yang paling utama adalah sebagai ulama.

Pada masa penjajahan Belanda, pemikiran ala orientalis dicekokkan kepada bangsa Indonesia.  Sekolah-sekolah Islam dihambat, sementara pada saat yang bersamaan Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum yang ‘netral agama’, atau dengan kata lain tidak mengajarkan pelajaran agama.  Di sisi lain, sekolah-sekolah Kristen justru banyak berdiri dan mendapatkan dana dari pemerintah kolonial.

Tidak semua lulusan sekolah bikinan Belanda terjangkit virus pemikiran orientalis.  Ada orang-orang seperti Moh. Natsir, yang hingga akhir hayatnya tetap memperjuangkan dakwah Islam.  Bagaimana pun, efeknya pada masa Orde Lama cukup terasa, misalnya pada kasus penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta.  Penggugatan ini kental dengan nuansa politis yang anti-Islam, karena tujuh kata tersebut dikesankan hendak mengancam umat beragama lainnya, padahal tidak.  Klimaks dari kekeruhan hubungan antara pemerintah dan umat Islam pada era Orde Baru terjadi pada saat komunisme berkuasa, yang baru berakhir bersamaan dengan jatuhnya Presiden Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden RI.

Di masa Orde Baru, sekularisme mengambil bentuk lain lagi.  Jika tadinya sangat frontal terhadap Islam, kini sekularisme menggunakan topeng yang lebih ‘ramah’.  Judulnya: toleransi.  ‘Toleransi’ tersebut, antara lain, menghasilkan sebuah himbauan agar umat Islam sudi merayakan Natal bersama-sama umat Kristiani.  ‘Toleransi’ yang sama juga pernah berbuah kecaman atas tafsir Surah Al-Ikhlash yang termuat dalam buku pelajaran sekolah, karena dianggap tidak toleran terhadap iman Kristen.

Sebuah lingkar diskusi tertutup juga layak untuk disebut dalam sejarah gerakan sekuler-liberal di Indonesia.  Namanya adalah “Limited Group”, yang beranggotakan antara lain Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo dan lain-lain.  Di antara nama-nama itu, Ahmad Wahib cukup menonjol, meskipun mungkin paling sedikit dikenal orang di masa kini.  Pengaruhnya sangat kuat, meskipun ia meninggal di usia sangat muda.

Buku harian Ahmad Wahib disadur menjadi sebuah buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam; semacam ‘kitab suci’ buat kalangan liberal.  Di dalamnya, Wahib secara vulgar menyatakan pendapat-pendapat kontroversialnya tentang Islam, agamanya sendiri.  Wahib adalah seorang mantan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), namun pernah hidup bersama dua orang Romo Kristen.  Dalam catatan hariannya, Wahib bertanya-tanya apakah Allah kelak akan tega menjebloskan kedua Romo-nya ke neraka.  Setelah Wahib meninggal, buku hariannya inilah yang kemudian disebarluaskan oleh rekan-rekannya.

Selain Wahib, Nurcholish Madjid juga patut mendapat catatan tertentu.  Namanya cukup dikenal di kalangan aktifis Muslim.  Sebagian kalangan pernah menyematkan sebutan “Natsir Muda” kepadanya.  Ironisnya, setelah kembali dari kuliah di Chicago, ia justru menyebarkan pemikiran yang sangat ditentang oleh Moh. Natsir, yaitu sekularisasi.

Tokoh penting lainnya dalam sejarah infiltrasi pemikiran liberal adalah Harun Nasution.  Beliau adalah tokoh besar di kalangan IAIN/UIN.  Harun akrab dengan pemikiran-pemikiran orientalis terutama saat berkuliah di Universitas McGill, Kanada.  Beberapa pendapatnya yang sangat kontroversial adalah dukungannya terhadap Mu’tazilah, yang telah dinyatakan sesat oleh para ulama, penolakannya pada iman terhadap qadha’ dan qadar, dan pemikirannya yang menyamakan antara monoteisme dengan tauhid, sehingga Islam disebutnya bukan satu-satunya agama tauhid.  Setelah diangkat menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pemikiran Harun tersebar luas dengan cepat di kalangan IAIN.  Prof. Rasjidi telah memberikan peringatan kepada Menag untuk mewaspadai pemikiran yang dibawanya, namun peringatan ini diabaikan begitu saja hingga detik ini.

Akibat dari infiltrasi puluhan tahun di IAIN, maka pemikiran-pemikiran sekuler-liberal justru banyak yang lahir dari kampus-kampus IAIN/UIN.  Pemikiran yang meyakini bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya dan bebas untuk didekonstruksi juga lahir dari kampus-kampus ini.  Sumanto Al Qurtuby, misalnya, salah seorang lulusan Fakultas Syariah IAIN Semarang, pernah berkata bahwa Allah tak peduli pada agama manusia, apalagi urusan kelaminnya.  Oleh karena itu, kafir-tidaknya seseorang adalah pilihannya sendiri, begitu juga urusan seksnya.

Penghujatan terhadap Islam juga muncul dari mahasiswa-mahasiswa IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung.  Rekamannya hingga kini masih bisa didapatkan di situs Youtube.  Dalam rekaman itu, mahasiswa-mahasiswa senior IAIN justru mengatakan bahwa jika kebenaran tak bisa ditemukan di dalam Islam, maka ia harus dicari di agama-agama lain.  Seorang mahasiswa senior lainnya bahkan mengajak semua orang untuk ‘berdzikir’ dengan ucapan “Anjinghu akbaar...!!!”

Selain di kampus-kampus IAIN/UIN, dua ormas Islam terbesar di Indonesia juga menjadi sasaran penyusupan pemikiran-pemikiran sekuler-liberal.  Di NU, kita temukan tokoh-tokoh seperti Gus Dur, Ulil Abshar-Abdalla, Abd. Moqsith Ghozali, Guntur Romli dan lain-lain.  Di Muhammadiyah, ada Dawam Rahardjo (sebelum dipecat), Abdul Munir Mulkhan dan Ahmad Syafii Maarif.  Menariknya, infiltrasi pemikiran di kedua ormas ini menggunakan ‘wajah’ yang berbeda pula.

Di kalangan NU, yang diusung adalah gerakan kultural; bukan Indonesia yang Islami, tapi Islam yang Indonesiawi.  Dengan demikian, orang dibebaskan untuk menafsirkan Islam sesuai latar belakang kulturalnya masing-masing.  Ini adalah salah satu wajah pluralisme.  Adapun di kalangan warga Muhammadiyah, isu yang dijual adalah progresifitas, penafsiran Islam sesuai jaman dan pembaharuan (tajdid).  Istilah-istilah seperti ini umumnya tidak bermasalah, hanya saja penggunaannya memang problematis.  Sebagai contoh, jika ‘sesuai jaman’ artinya ajaran Islam berbuah sesuai selera manusia pada jamannya, maka ini adalah sebuah penyimpangan.

Kita juga lihat dalam promosi film Sang Pencerah belakangan ini seringkali digunakan kosa kata seperti “progresif”.  Jika kata ini dinisbatkan pada pemikiran seseorang, maka ia bisa dibenarkan.  Akan tetapi jika ia dinisbatkan kepada Islam, maka ini jelas keliru.  Sebab Islam tidak berubah.  Apa yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan boleh saja disebut modernisasi atau pembaharuan, akan tetapi landasannya adalah purifikasi.  Artinya, umat Islam diajak maju justru dengan kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya, bukan dengan membuat ajaran-ajaran baru yang keluar dari kerangka Islam.  Sebab, ajaran Islam yang benar itulah yang memberi ruang gerak pada manusia untuk mencapai kemajuan.  Adapun kultur bikinan manusia, jika ia tidak dilandasi oleh ajaran Islam yang lurus, maka pastilah cenderung mengekang kemajuan.

Infiltrasi pemikiran belakangan ini juga dilakukan dengan membawa-bawa nama ulama ke dalam wacana sekuler-liberal.  Moh. Natsir dan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, misalnya, adalah dua nama yang diseret dalam wacana Islam liberal.  Buya Hamka juga tidak luput dari siasat yang sama, yaitu dengan menyeret-nyeret namanya ke dalam wacana pluralisme.

Di kalangan warga NU, aktifis liberal cenderung memanfaatkan ikatan emosional warga NU yang sangat kuat dengan organisasinya.  Sebagai contoh, ketika Guntur Romli dipukul pada insiden Monas, langsung muncul isu NU vs. FPI.  Sebab, Guntur Romli mengaku sebagai warga NU.  Ketika muncul isu bahwa Gus Dur diusir dari sebuah forum diskusi, pertentangan antara NU dan FPI kembali berhembus, meskipun belakangan Gus Dur sendiri mengaku bahwa dirinya tak diusir siapa-siapa.  Terakhir, Ulil Abshar-Abdalla pun mencalonkan dirinya sebagai Ketua Umum PBNU.

Untuk menghadapi organisasi-organisasi yang menentang liberalisme seperti FPI, isu Wahabi dan Arabisasi biasanya dimunculkan.  Propaganda ala Darmogandul bekerja kembali.  Buku Ilusi Negara Islam, misalnya, sarat dengan fitnah dan adu domba.  Di dalamnya terlibat tiga orang tokoh besar dari NU dan Muhammadiyah, yaitu Gus Dur, Ahmad Syafii Maarif dan Mustofa Bisri (Gus Mus).  Dalam buku itu, mulai dari PKS, Hizbut Tahrir, Al-Ikhwan Al-Muslimun, bahkan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), semuanya disebut sebagai Wahabi.  Buku ini kemudian diprotes oleh beberapa peneliti liberal yang merasa namanya telah dicatut.  Dengan demikian, jelas bahwa buku ini sepenuhnya adalah dusta.

Belakangan, tokoh-tokoh liberal juga menyusup ke ranah politik.  Ulil Abshar-Abdalla menjadi pengurus Partai Demokrat (PD), sedangkan Zuhairi Misrawi dan Hamid Basyaib masuk ke PDIP.  Beberapa kalangan lain juga meneruskan pemikiran Gus Dur, antara lain putri kandungnya sendiri, yaitu Yenny wahid, baik di kalangan NU maupun di tubuh PKB versinya sendiri.

Dengan demikian, lengkaplah tantangan pemikiran yang kita hadapi di era ghazwul fikriy sekarang ini.  Peradaban Islam pernah mencapai kejayaannya melalui ilmu.  Dengan kata lain, peradaban Islam adalah ekivalen dengan peradaban ilmu, dan tidak pernah merasa asing dengan pergulatan pemikiran.  Sudah sepantasnya tantangan-tantangan dari kalangan liberal ini kita jawab dengan tuntas.  Tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kewajiban dalam hal ini.

akmal syafril
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Islam Ku-Cinta - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger