Home » » Romantika Kemiskinan

Romantika Kemiskinan

Written By Administrator on Rabu, 07 Juli 2010 | 23.20





Romantika kemiskinan.  Istilah ini baru saja saya dapatkan semalam.  Sebuah istilah unik, cukup jenaka, namun cukup tepat untuk menggambarkan mentalitas sebagian orang yang memang menyukai kemiskinan.  Senang hidup susah dan susah untuk hidup senang.

Mereka yang doyan dengan romantika kemiskinan ini menganggap bahwa umat Muslim harus miskin selama-lamanya.  Harta harus dijauhi, karena ia identik dengan hawa nafsu.  Hanya dengan begitulah kejayaan yang pernah dirasakan oleh umat ini di jaman dahulu dapat dicapai kembali.  Mungkin mereka lupa bahwa ketika Islam berjaya, umat ini sangat kaya-raya.  Mungkin mereka lupa juga bahwa ada masa-masanya ketika orang kepayahan mencari mustahik zakat di seantero kekhilafahan Islam.  Atau mungkin banyak juga yang lupa bahwa selain orang-orang miskin yang hidup seadanya, di antara para sahabat Rasulullah saw. juga ada saudagar-saudagar kaya seperti Abdurrahman bin 'Auf ra. dan 'Utsman bin 'Affan ra. yang dengan mudah dapat bersedekah dengan sekian ratus dinar, sepetak kebun atau sekian puluh ekor unta.

Sudah sejak lama umat ini diperkuat oleh kekuatan finansial sebagian orang.  Tidak semua orang berduit, tapi semuanya punya cita-cita.  Itulah sebabnya orang-orang miskin di jaman Rasulullah saw. pernah 'protes', sebab mereka melihat para sahabat yang kaya dapat bersedekah banyak sekali, sedangkan mereka tidak mampu melakukannya.  Meskipun akhirnya Rasulullah saw. memberikan solusi berupa amalan-amalan yang dapat mereka lakukan untuk mengganti sedekah yang tak dapat mereka lakukan itu, hal ini menunjukkan pada kita bahwa mental mereka adalah mental orang kaya, bukan mental orang miskin.  Mereka tidak suka terus-terusan menaruh tangannya di bawah, menerima zakat dan BLT.  Semuanya punya mimpi besar agar di kemudian hari bisa hidup berkecukupan dan membantu saudara-saudaranya yang masih kesusahan.

Sejak dulu memang ada orang-orang yang bakat bisnisnya begitu besar, sehingga apa pun yang ia usahakan selalu berhasil.  Kekayaan mereka tidak mengandung dosa, karena tidak diperoleh dengan cara-cara yang melanggar aturan agama, dan mereka pun selalu memenuhi hak-hak orang lain dari hartanya itu.

Masalah muncul ketika kita memelihara suatu penyakit yang sangat berpotensi mengundang penyakit-penyakit lainnya, yaitu iri dengki.  Kalau sudah dengki, logika pun terancam mati.  Menarik sekali menyimak penjelasan Mutawalli asy-Sya'rawi mengenai sifat hasad yang disebut dalam surah Al-Falaq.  Menurut beliau, setiap Muslim harusnya tidak mengenal sifat hasad, dan karena itu, mereka pun tak tahu bagaimana harus mengatasi hasad orang lain kepada dirinya.  Oleh karena itu, solusi satu-satunya hanyalah berlindung kepada Allah, sebagaimana pesan dalam surah Al-Falaq.  Memang benar, kalau orang dengki pada kita, nampaknya tak ada yang bisa kita lakukan selain berlindung kepada Allah.

Kesalahan pertama yang dilakukan oleh para pendengki ini adalah pemahamannya yang parsial.  Mereka cenderung larut dalam ’romantika kemiskinan’ setelah membaca riwayat hidup Nabi saw. dan para sahabatnya yang hidup serba kesusahan.  Mereka terkesan pada kisah ketika Rasulullah saw. tidur di atas pelepah kurma, sehingga timbul bekas di badannya.  Mereka menangis terharu mendengar bagaimana Rasulullah saw. hanya meninggalkan secuil harta ketika wafatnya, itu pun sebagiannya telah diwasiatkan untuk disedekahkan pada orang lain.

Akan tetapi, ada riwayat-riwayat lain yang mereka lupakan.  Mereka lupa bahwa Rasulullah saw. di Mekkah dahulu adalah seorang pedagang sukses, yang kemudian hidup berkecukupan setelah menikah dengan Khadijah ra., seorang saudagar perempuan yang sangat terhormat.  Mahar pernikahannya pun tidak main-main, mencapai jumlah yang cukup fantastis dan tak mungkin dipenuhi oleh orang miskin.

Banyak juga yang lupa bahwa kaya dan miskin adalah fenomena yang sudah ada sejak dahulu kala.  Ada Mush’ab bin 'Umair ra. yang ketika wafatnya tak mendapatkan kain kafan yang cukup untuk menutup tubuhnya, tapi ada pula para saudagar kaya sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya.  Jika kita membaca riwayat yang mengatakan bahwa 'Umar ra. menyedekahkan sebuah kebun, ’Utsman ra. menyedekahkan sekian, Abu Bakar ra. menyedekahkan sekian, maka kita juga harus ingat bahwa harta yang disedekahkannya itu pernah menjadi miliknya.  Artinya, sebelum menyedekahkan sepetak kebun, maka kebun itu adalah miliknya yang sah.  Karena itu, tak ada salahnya menjadi seorang juragan perkebunan, karena Rasulullah saw. tak pernah melarang hal yang demikian.

Orang tak mesti miskin, bahkan Islam membenci kemiskinan.  ’Ali bin Abu Thalib ra. pernah berandai-andai, kalau kefakiran itu adalah seorang manusia, niscaya ia akan membunuhnya.  Rasulullah saw. pun mencontohkan doa agar kita dijauhkan dari kefakiran dan kekufuran.  Memang Rasulullah saw. dan para sahabatnya selalu memelihara hidup yang zuhud dan selalu siap untuk hidup susah di jalan Allah, tapi mereka benar-benar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan paling anti merepotkan orang lain.

Kesalahan kedua adalah ketidakmampuan dalam memahami aspek fungsional dari harta yang dilihatnya.  Blackberry, misalnya, bisa dibilang sebagai barang mewah atau pemborosan di tangan seorang siswa SD atau SMP.  Akan tetapi di tangan seorang wirausahawan, ia bisa menjadi sebuah alat yang sangat bermanfaat.  Internet, bagi mereka yang hanya kenal Facebook dan chatting, memang cenderung disalahgunakan.  Akan tetapi bagi mereka yang tahu bagaimana cara memanfaatkannya, ia dapat menjadi hal yang sangat positif.

Banyak orang tahu bahwa Rasulullah saw. punya unta yang sangat handal untuk sarana transportasinya, namun mereka ’gatal’ melihat seorang ustadz membeli kendaraan.  ”Wah, sudah banyak duit nih!”, sindir mereka.  Padahal fungsi motor dan mobil mereka sama saja dengan fungsi unta bagi Rasulullah saw., hanya saja unta tidak membawa fasilitas AC atau airbag.  Kemewahan mobil dibanding unta harus dilihat secara bersamaan dengan perbandingan kapasitasnya.  Kapasitas angkut mobil jauh lebih besar daripada unta, demikian juga kecepatannya.  Kalau orang susah untuk nyaman di atas punggung unta, sekarang orang bisa tidur di dalam mobil, asalkan ada yang menyupirinya.  Lebih mewah, asal menghasilkan kinerja yang lebih baik, tidaklah mengapa.  Justru itulah yang disebut kemajuan jaman.

Kesalahan ketiga adalah membuat perbandingan yang tidak apple to apple.  Dengan melihat kondisi keuangan Rasulullah saw. ketika wafat, lantas orang berkesimpulan bahwa keadaan itulah yang paling baik buat kita.  Padahal, Rasulullah saw. sendiri yang berpesan agar kita meninggalkan harta untuk keturunan kita, agar mereka tidak hidup susah sepeninggal kita.  Apakah ada kontradiksi dalam sikap Rasulullah saw.?

Yang terjadi bukanlah kontradiksi, melainkan kegagalan dalam memahami masalah.  Rasulullah saw. mengetahui bahwa ajaran yang diwariskannya itu berlaku hingga akhir jaman.  Oleh karena itu, yang digunakan adalah standar kecukupan, bukan nilai nominal.  Asalkan ahli waris dapat hidup layak, maka itu sudah cukup.

Kehidupan di jaman Rasulullah saw. sangat berbeda dengan sekarang.  Dulu, kalau lapar tinggal panjat pohon kurma di kebun sendiri, atau perah susu dari kambing milik sendiri, atau sembelih unta sendiri.  Waktu itu belum ada sekolah, hanya ada shuffah yang 100% gratis.  Oleh karena itu, anak-anak tak perlu asuransi pendidikan.  Sekarang, segalanya harus dibeli dengan uang.  Kecuali para juragan, hampir tak ada yang punya kebun yang hasilnya bisa dipetik sendiri atau ternak yang produktif di rumahnya.  Untuk makan dan sekolah, semuanya harus dengan uang.  Kalau dulu orang naik unta, dan unta makan rumput, sekarang orang naik mobil dan motor, sedangkan mobil dan motor makannya bensin dan solar.  Semuanya butuh uang.  Karena itu, wafat dengan tidak mewariskan apa-apa akan sangat menyulitkan bagi ahli warisnya.  Apa yang cukup di jaman Rasulullah saw. belum tentu cukup di jaman sekarang.

Sudah saatnya umat Islam meninggalkan cara berpikirnya yang dibumbui oleh romantika kemiskinan.  Kita tidak harus miskin, bahkan seharusnya kita tidak miskin.  Miskin adalah kondisi finansial aktual, yang bisa saja berubah seiring waktu.  Akan tetapi kalau miskin visi, miskin cita-cita, dan miskin nyali, apalagi kalau dibumbui dengan dengki, kelihatannya memang tak ada masa depan bagi yang seperti ini. 

akmal.multiply
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Islam Ku-Cinta - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger