Pemuda ini memang parlente. Dia sosok yang suka bermain, juga melankolis. Sangat membenci peperangan. Maka ketika Sultan Nuruddin Mahmud Zanki menyuruhnya ikut berjihad mempertahankan Mesir dari Serbuan Raja Yerusalem Almaric, ia sangat keberatan. "Aku tidak sudi berperang," katanya, "meski seluruh kerajaan Mesir diberikan padaku."
Namun Sultan terus memaksa. Juga sang paman, Asadudin Syirkah. Pemuda ini mau tidak mau harus menemani mereka.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1164. dan saat itulah dia mulai memiliki pandangan yang berbeda tentang jihad. Jihad pertama yang diikutinya mulai mengubah dirinya. Ia melihat langsung bagaimana jihad yang sebenarnya. Di dalamnya ada kasih sayang; terhadap anak-anak, para manula, dan wanita. Dalam jihad persaudaraan lebih terasa; antar mujahidin yang saling menjaga, tidak mau kehilangan, dan ada itsar di sana. Dalam jihad itu ia merasakan kedekatan dengan Rabb-Nya. Sebab kematian selalu mendekatinya; dalam setiap denting beradunya pedang, dalam lesatan anak panah, dalam lemparan tombak-tombak. Maka tawakkal menjadi dominan. Maka kekhusyukan saat shalat begitu terasa.
Sejak saat itulah, pemuda tampan ini berubah menjadi pemberani. Tumbuh menjadi seorang ksatria. Berkembang menjadi pemimpin yang berwibawa. Dialah yang kemudian berhasil membebaskan Palestina. Namanya Yusuf. Namun kita lebih mengenalnya dengan nama populernya: Muhammad Shalahuddin Al-Ayyubi.
Itulah amanah. Seringkali amanah yang dipikulkan kepada seseorang menjadi pemicu untuk berubah. Menjadi stimulan untuk bertumbuh. Menjadi detonator yang mampu meledakkan setiap potensi. Maka tiba-tiba ia menjadi luar biasa.
Kita sering mendengar kisah kolam buaya. Begitulah amanah kadang-kadang memaksa kita menjadi lebih cepat dan lebih tangkas. Alkisah, ada seorang yang tidak pandai berenang. Ia lamban. Saat berada di kolam buaya, teman-teman mendorongnya ke sana. "Bluur!" saat air mulai menyentuh kulitnya, ia hanya berpikir dua hal: berenang secepat-cepatnya, atau tersusul buaya dan menjadi mangsa. Langsung saja ia menggerakkan tangan dan kakinya. Secepat kilat ia menyelamatkan diri. Berhasil. Bukan hanya selamat dari kejaran buaya, ia juga memecahkan rekor perenang tercepat.
Bagi kita yang kini mendapatkan amanah, tentu ia menjadi hal yang berat. Hampir-hampir saja kita menolak. Bahkan sudah menolak tetapi tidak dikabulkan oleh jama'ah. Kita mungkin merasa bukan orang tepat. Bukan orang yang terbaik. Sebagaimana perkataan Abu Bakar saat dipilih menjadi khalifah: "Aku bukanlah orang terbaik diantara kalian". Namun justru dengan amanah itu Kita akan menjadi lebih baik. Pada mulanya kita dipaksa. Namun seperti kata KH. Rahmat Abdullah, selanjutnya menjadi pembiasaan, lalu akhirnya menjadi irama hidup.
Percayalah, tantangan yang kita hadapi selama menjalankan amanah tersebut akan mendewasakan kita. Akan membuat kita banyak belajar. Akan membuat kita lebih tegar.
Percayalah, problematika yang kita hadapi selama menjalankan amanah tersebut akan membuat kita terlatih membuat keputusan. Mendorong kita lebih berani bersikap. Membuat kita lebih bijaksana.
Percayalah, hambatan yang kita hadapi selama mengemban amanah itu akan membuat kita memeras otak. Mengasah akal. Lebih banyak membutuhkan pertolongan-Nya. Lalu kita pun bisa bertumbuh secara ruhiyah.
Percayalah. Kita tengah beruntung saat didorong dalam medan amanah. Ibarat dijatuhkan dalam kolam buaya. Asalkan kita ikhlas. Asalkan kita bersikap amanah. Dan semoga kita bisa menapaki jejak Yusuf yang berubah menjadi panglima sejati: Muhammad Sholahuddin Al-Ayyubi. [Muchlisin]
Namun Sultan terus memaksa. Juga sang paman, Asadudin Syirkah. Pemuda ini mau tidak mau harus menemani mereka.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1164. dan saat itulah dia mulai memiliki pandangan yang berbeda tentang jihad. Jihad pertama yang diikutinya mulai mengubah dirinya. Ia melihat langsung bagaimana jihad yang sebenarnya. Di dalamnya ada kasih sayang; terhadap anak-anak, para manula, dan wanita. Dalam jihad persaudaraan lebih terasa; antar mujahidin yang saling menjaga, tidak mau kehilangan, dan ada itsar di sana. Dalam jihad itu ia merasakan kedekatan dengan Rabb-Nya. Sebab kematian selalu mendekatinya; dalam setiap denting beradunya pedang, dalam lesatan anak panah, dalam lemparan tombak-tombak. Maka tawakkal menjadi dominan. Maka kekhusyukan saat shalat begitu terasa.
Sejak saat itulah, pemuda tampan ini berubah menjadi pemberani. Tumbuh menjadi seorang ksatria. Berkembang menjadi pemimpin yang berwibawa. Dialah yang kemudian berhasil membebaskan Palestina. Namanya Yusuf. Namun kita lebih mengenalnya dengan nama populernya: Muhammad Shalahuddin Al-Ayyubi.
Itulah amanah. Seringkali amanah yang dipikulkan kepada seseorang menjadi pemicu untuk berubah. Menjadi stimulan untuk bertumbuh. Menjadi detonator yang mampu meledakkan setiap potensi. Maka tiba-tiba ia menjadi luar biasa.
Kita sering mendengar kisah kolam buaya. Begitulah amanah kadang-kadang memaksa kita menjadi lebih cepat dan lebih tangkas. Alkisah, ada seorang yang tidak pandai berenang. Ia lamban. Saat berada di kolam buaya, teman-teman mendorongnya ke sana. "Bluur!" saat air mulai menyentuh kulitnya, ia hanya berpikir dua hal: berenang secepat-cepatnya, atau tersusul buaya dan menjadi mangsa. Langsung saja ia menggerakkan tangan dan kakinya. Secepat kilat ia menyelamatkan diri. Berhasil. Bukan hanya selamat dari kejaran buaya, ia juga memecahkan rekor perenang tercepat.
Bagi kita yang kini mendapatkan amanah, tentu ia menjadi hal yang berat. Hampir-hampir saja kita menolak. Bahkan sudah menolak tetapi tidak dikabulkan oleh jama'ah. Kita mungkin merasa bukan orang tepat. Bukan orang yang terbaik. Sebagaimana perkataan Abu Bakar saat dipilih menjadi khalifah: "Aku bukanlah orang terbaik diantara kalian". Namun justru dengan amanah itu Kita akan menjadi lebih baik. Pada mulanya kita dipaksa. Namun seperti kata KH. Rahmat Abdullah, selanjutnya menjadi pembiasaan, lalu akhirnya menjadi irama hidup.
Percayalah, tantangan yang kita hadapi selama menjalankan amanah tersebut akan mendewasakan kita. Akan membuat kita banyak belajar. Akan membuat kita lebih tegar.
Percayalah, problematika yang kita hadapi selama menjalankan amanah tersebut akan membuat kita terlatih membuat keputusan. Mendorong kita lebih berani bersikap. Membuat kita lebih bijaksana.
Percayalah, hambatan yang kita hadapi selama mengemban amanah itu akan membuat kita memeras otak. Mengasah akal. Lebih banyak membutuhkan pertolongan-Nya. Lalu kita pun bisa bertumbuh secara ruhiyah.
Percayalah. Kita tengah beruntung saat didorong dalam medan amanah. Ibarat dijatuhkan dalam kolam buaya. Asalkan kita ikhlas. Asalkan kita bersikap amanah. Dan semoga kita bisa menapaki jejak Yusuf yang berubah menjadi panglima sejati: Muhammad Sholahuddin Al-Ayyubi. [Muchlisin]
0 komentar:
Posting Komentar