Home » » Partai Demokrat Tiru Rekrutmen ‘Orde Baru’

Partai Demokrat Tiru Rekrutmen ‘Orde Baru’

Written By Administrator on Senin, 21 Juni 2010 | 21.15



(IST)
INILAH.COM, Jakarta - Lima tahun lalu tepatnya 30 September 2004, antara pukul 20:00-22:00 WIB, Roy Suryo hadir di Jl.Teuku Umar, Jakarta, kediaman Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pakar telematika itu memberikan presentasi temuannya kepada Megawati dan staffnya tentang berbagai kejanggalan dalam penghitungan suara yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Intinya, menurut versi pemuda Yogya ini, hasil penghitungan suara melalui Teknologi Informasi milik KPU, banyak yang diragukan. Keunggulan SBY atas Megawati dalam Pilpres 2004 tersebut secara implisit disebut Roy Suryo sebagai sebuah ‘rekayasa’.
Sebab dari penelusurannya, data yang masuk ke server KPU, setelah diolah oleh ahli Teknologi Informasi (TI), hasilnya selalu menguntungkan pasangan SBY-JK. Jadi menurut Roy penghitungan suara itu telah merugikan posisi presiden Mega sebagai incumbent.
Beberapa bulan kemudian, setelah Megawati tidak lagi menjadi Presiden RI, Roy Suryo mengirim SMS kepada sahabatnya. Sang sahabat yang ikut mendengarkan presentasi Roy di rumah Megawati.
Roy minta restu sekaligus minta maaf, karena harus menerima lamaran dari Partai Demokrat. Dengan kata lain, Roy menjadi pengikut SBY. Roy, dari orang yang ‘membela’ Mega kini menjadi sahabat SBY.
Tidak lama setelah Roy bergabung dengan Partai Demokrat, anggota KPU Anas Urbaningrum, ikut bergabung. Tahun ini jejak Anas Urbaningrum diikuti anggota KPU, Andi Nurpati. Jadi sebetulnya pindah status dari anggota KPU menjadi kader Demokrat bukanlah hal yang tak wajar.
Namun kalau Megawati mencurigai kepindahan Andi Nurpati, wajar dan sah-sah saja. Karena seperti yang terjadi enam tahun lalu, yang diungkapkan oleh Roy Suryo, Megawati sebetulnya merupakan ‘salah satu korban’ dari politik KPU.
Artinya cara Partai Demokrat melakukan rekrutmen kader, pasca-Munas II di Bandung, bukan sesuatu yang salah. Sebab bagi Partai Demokrat tidak ada cara lain kecuali mempercepat rekrutmen. Hal ini penting sebab tak lama lagi partai penguasa ini sudah harus mempersiapkan kader-kadernya menghadapi Pemilu 2014.
Dalam Pilpres 2014 dipastikan SBY tidak akan bisa dicalonkan lagi sebagai presiden. Hanya saja rekrutmen Demokrat kali ini menarik perhatian, karena hal ini mengingatkan apa yang dilakukan Orde Baru.
Tidak lama setelah Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI, sejumlah tokoh langsung dilamar menjadi kader partai yang akan menjadi pendukung kekuasaannya. Pada waktu itu (1966), sudah dibentuk Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar.
Sekber ini tidak disebut sebagai partai. Tetapi keikut sertaannya dalam Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 sama dengan partai-partai politik yang sudah lebih dahulu eksis.
Kaderisasi Golkar menggunakan sistem massa mengambang atau floating mass. Maksudnya, siapa saja bisa menjadi anggota sekalipun secara resmi ia masih terikat dengan sebuah institusi. Persis seperti karir politik Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati.
Itu pula sebabnya tidak mengherankan apabila di era Golkar sedang berkuasa, banyak tokoh masyarakat yang masih terikat dengan institusi langsung dijadikan ‘kader’ partai.
Korpri (Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia) merupakan salah satu contoh konkrit. Golkarisasi Korpri dilakukan secara bertahap. Ketika muncul kritikan bahwa Korpri bagian dari apartur pemerintah sehingga tidak patut dijadikan organisasi massa Golkar, Golkar menjawab bahwa sistem keanggotaannya didasarkan konsep massa mengambang.
Saat ini istilah massa mengambang tidak ditiru Partai Demokrat. Namun melihat gelagat yang muncul semenjak Ketua Umum Demokrat di tangan Anas Urbaningrum, rekrutmennya tidak banyak berbeda dengan konsep Golkar.
Salah satunya adalah perekrutan figur tertentu yang sudah memiliki status sosial atau sudah dikenal masyarakat. Tokoh pers nasional seperti Jakob Oetama (pendiri Kompas) termasuk salah satu di antara figur yang di-Golkarkan. Bahkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (almarhum) secara mengejutkan di era 1980-an sudah menjadi anggota Golkar, tanpa pernah diketahui kapan melamarnya.
Dari Bandung, Jawa Barat misalnya, tokoh mahasiswa seperti Sarwono Kusumaatmadja, Rachmat Witoelar, dan Rahman Tolleng termasuk yang tiba-tiba menjadi Golkar. Kebetulan sebagai tokoh mahasiswa, mereka sudah cukup bersuara vokal di masyarakat. Sehingga ketika menjadi anggota resmi Golkar, tentu berimbas positif kepada partai berlambang pohon beringin itu.
Jika 20-30 tahun lalu Orde Baru menggolkarkan semua gubernur, walikota dan bupati, tahun ini Partai Demokrat mulai mendorong supaya para gubernur menjadi fungsionaris. Hasilnya Gubernur DKI Fauzi Bowo dan Gubernur Jatim Sukarwo dikabarkan sudah langsung melamar menjadi anggota Partai Demokrat.
Tinggal kita tunggu, mana yang lebih efektif dan berhasil cara yang ditempuh Golkar atau Partai Demokrat atau kapan rekrutmen besar-besar di TNI dilakukan partai penguasa ini. [mdr]
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Islam Ku-Cinta - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger