Ma'alim fi Ath-Thariq (معالم في الطريق) adalah buku yang fenomenal dan revolusioner. Mengapa fenomenal? Sebab buku ini telah membuat penulisnya, Sayyid Qutb, digantung. Sedangkan para pembacanya di banyak negara, dicurigai; kalau-kalau mereka bisa menjadi teroris. Buku ini sempat dilarang di beberapa negara yang represif seperti Mesir, negara asal Sayyid Qutb dan Ma'alim fi Ath-Thariq. Bahkan, buku ini direkomendasikan dilarang oleh intelijen di negeri ini.
Buku ini dikatakan revolusioner karena ia hadir dengan ide yang berbeda dengan kebanyakan buku-buku lain yang sezaman dengannya. Saat itu memang banyak negara muslim yang sudah memerdekakan diri dari penjajah. Namun problem ternyata tidak serta merta berakhir. Diantara problem baru itu adalah, para penguasa militer atau otoriter yang menguasai sebagian besar negara muslim. Mereka memandang Islam sebagai ancaman, dan tidak ingin Islam menjadi way of life. Di sisi yang lain, umat Islam terpuruk dalam keterbelakangan dan tidak percaya diri dalam menghadapi Barat.
Manhaj Islam untuk Kebangkitan Umat
Ide-ide Sayyid Qutb dalam Ma'alim fi Ath-Thariq yang sebenarnya diambilkan dari manhaj Islam ini dianggap baru karena sekian lama ia terpendam dalam puing-puing sejarah umat. Prinsip dakwah dalam manhaj Al-Qur'an, Jihad fi sabilillah, dan ketauhidan. Ini bukan sesuatu yang baru mestinya, dari dulu sudah ada. Namun, dengan metode yang sistematis dan gaya bahasa yang khas, Sayyid Qutb menjadikan hal-hal itu lebih hidup dan memiliki daya dobrak! Ia menjadi penyemangat serta menumbuhkan ruh juang bagi pembacanya.
Ma'alim fi Ath-Tahriq ini terdiri dari 12 bab dan diawali dengan muqaddimah. 4 bab diantaranya merupakan intisari Tafsir Fi Zhilalil Qur'an, yaitu; طبيعة المنهج القراني (Karakter Manhaj Al-Qur'an), التصور الإسلامي والثقافة (Pandangan Islam dan Kebudayaan), الجهاد في سبيل الله (Jihad fii Sabiilillah), dan نشأة المجتمع المسلم وخصائصه (Tumbuhnya Masyarakat Muslim dan Karakteristiknya). Sementara 8 bab lain merupakan bab yang perlu dituliskan Sayyid Qutb untuk memperjelas dan memperkuat inti sari itu di samping untuk memenuhi tujuan utama buku ini ditulis. Yakni, sebagai petunjuk jalan yang akan dilalui para pioner kebangkitan umat, yang juga akan ditunjukkan kepada umat. Dengan adanya pioner inilah umat akan bangkit. Dengan eksisnya umat Islam inilah tugas manusia sebagai khalifah dan abdullah serta peran umat Islam sebagai ummatan daa'iyan dan ummatan syaahidan bisa diimplementasikan. Dengan demikian, kepemimpinan barat yang rapuh karena tidak memiliki "nilai-nilai" yang membuatnya layak memimpin akan diambil alih oleh umat Islam.
Jika pioner kebangkitan umat menginginkan keberhasilan sebagaimana keberhasilan generasi pertama, mereka harus meneladani karakter mereka. Oleh Sayyid Qutb mereka disebut جيل قراني فريد (Generasi Qur'ani yang Istimewa), yang juga dijadikan judul bab setelah muqaddimah. Ada 3 faktor utama keberhasilan generasi ini; sumber rujukannya adalah Al-Qur'an dan steril dari pengaruh manhaj lain, mereka mempelajari Al-Qur'an untuk mengamalkan/mengaplikasikan, dan saat mereka masuk Islam dan mendapat Al-Qur'an seketika mereka melepas seluruh kejahiliyahan.
Al-Qur'an telah mengajarkan jalan dakwah bagi generasi pertama umat ini, جيل قراني فريد (Generasi Qur'ani yang Istimewa). Dan manhaj Al-Qur'an dalam dakwah ini seharusnya diikuti oleh para pioner kebangkitan umat. Bagaimana karakteristiknya? Sayyid Qutb menjelaskan bahwa jalan pertama adalah pembinaan aqidah. Inilah yang serius dilakukan selama 13 tahun fase Makkiyah, dan Al-Qur'an tidak melompat pada pembahasan lain, apalagi masalah cabang/furu'iyah. Ini pula yang dijadikan seruan dakwah oleh Rasulullah, meskipun peluang mendapatkan perlawanan lebih besar dari pada dakwah lain. Rasulullah tidak mendakwahkan nasionalisme Arab, tidak pula keadilan sosial dan perbaikan moral. Meskipun ketiga hal terakhir ini peluangnya lebih besar untuk didukung orang-orang Arab, tetapi ia bisa menjadi tuhan baru atau bersifat rapuh. Sedangkan aqidah, tauhid, ia akan terpatri kuat memberi daya dorong yang hebat, di samping itulah kebenaran hakiki yang harus menjadi pondasi setiap perubahan.
Perubahan yang terjadi karena tauhid adalah perubahan revolusioner pada diri seseorang atau bangunan umat. Sebab perubahan Islam berarti peralihan dari mengikuti manhaj makhluk menuju manhaj Pencipta. Perubahan Islam berarti meninggalkan sistem produk manusia untuk memilih sistem ciptaan Allah. Perubahan Islam berarti mencampakkan hukum buatan hamba untuk merengkuh dan mengaplikasikan hukum Allah. Perubahan inilah yang akan memuliakan manusia, serta membawa mereka menuju rahmat, setelah hidup penuh dengan kehinaan dan kelemahan.
Pioner umat yang akan melakukan misi perubahan revolusioner ini harus percaya diri dengan manhajnya; manhaj Islam, manhaj Al-Qur'an. Maka, persoalan jihad juga harus diterima apa adanya sebagaimana konsep Al-Qur'an yang telah dijelaskan Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an saat menafsirkan surat Al-Anfal dan At-Taubah. Intinya, jihad bukan defensif, tetapi ofensif. Manhaj yang sama seperti dipahami Ibnul Qayyim dalam Zaadul Maad. Saat dakwah dihalangi oleh kekuatan politik atau kekuasaan, maka jihad harus menetralisir kekuatan itu sehingga dakwah bebas disebarkan. Konsep inilah yang ditakuti oleh musuh-musuh Islam termasuk Inggris pada waktu itu sehingga mereka memesan kematian Sayyid Qutb kepada pemerintahan Gamal Abdul Nasir.
Kekeliruan
Ma'alim fi Ath-Thariq adalah buku yang luar biasa. Namun, bukan berarti ia tidak lepas dari kekeliruan. Tulisan Sayyid Qutb dalam bab لااله الا الله منهج حياة (Laa ilaaha Illallah Manhaj Kehidupan) yang membagi manusia menjadi masyarakat Islam dan masyarakat jahiliyah, lalu menyatakan bahwa masyarakat sekarang (saat Ma'alim fi Ath-Thariq ditulis) semuanya masyarakat jahiliyah merupakan sebuah kekeliruan. Tetapi, jika kita mengetahui latar belakang kondisi dan situasi saat Sayyid Qutb menulis buku ini, kita akan bisa memaklumi kekeliruan ini terjadi. Dan, jika kita membandingkannya dengan Fi Zhilalil Qur'an, tampak bahwa ini sebatas kekeliruan, bukan manhaj takfir sebagaimana yang dituliskan orang-orang yang membencinya.
Ilham?
Tulisan Sayyid Qutb dalam bab terakhir هذا هو الطريق (Inilah Jalan Itu) seakan-akan seperti ilham yang dianugerahkan Allah SWT bahwa ia hidup tidak lama lagi. Tiang gantungan telah menunggunya. Dalam bab ini ia mengakhiri buku terakhirnya ini dengan menjelaskan bahwa para pekerja Allah bukan penentu hasil, mereka hanya perlu beramal. Bisa jadi mereka mendapatkan kemenangan dan berkuasa untuk menegakkan dinullah, bisa jadi ia seperti kisah ashaabul ukhdud; mati namun keimanan telah menyebar, kemenangan hakiki di sisi Allah SWT.
Maka, para pekerja Allah pasti mendapatkan 4 hal. Pertama, hasil di dunia berupa ketentraman hati, perasaan bangga, bebas dari tarikan dan ikatan, takut dan bimbang. Kedua, saat meninggalkan dunia berupa sanjungan dari malaikat dan kehormatan. Ketiga, di akhirat ia mendapatkan hisab yang mudah dan kenikmatan yang besar. Keempat, ridha Allah SWT.
(Tulisan ini disarikan dari Bedah Buku معالم في الطريق oleh penulis pada 20 Ramadhan 1430 H di Masjid KH. Faqih Usman, UMG. Bagi yang ingin mendownload buku معالم في الطريق silahkan KLIK DI SINI)
Buku ini dikatakan revolusioner karena ia hadir dengan ide yang berbeda dengan kebanyakan buku-buku lain yang sezaman dengannya. Saat itu memang banyak negara muslim yang sudah memerdekakan diri dari penjajah. Namun problem ternyata tidak serta merta berakhir. Diantara problem baru itu adalah, para penguasa militer atau otoriter yang menguasai sebagian besar negara muslim. Mereka memandang Islam sebagai ancaman, dan tidak ingin Islam menjadi way of life. Di sisi yang lain, umat Islam terpuruk dalam keterbelakangan dan tidak percaya diri dalam menghadapi Barat.
Manhaj Islam untuk Kebangkitan Umat
Ide-ide Sayyid Qutb dalam Ma'alim fi Ath-Thariq yang sebenarnya diambilkan dari manhaj Islam ini dianggap baru karena sekian lama ia terpendam dalam puing-puing sejarah umat. Prinsip dakwah dalam manhaj Al-Qur'an, Jihad fi sabilillah, dan ketauhidan. Ini bukan sesuatu yang baru mestinya, dari dulu sudah ada. Namun, dengan metode yang sistematis dan gaya bahasa yang khas, Sayyid Qutb menjadikan hal-hal itu lebih hidup dan memiliki daya dobrak! Ia menjadi penyemangat serta menumbuhkan ruh juang bagi pembacanya.
Ma'alim fi Ath-Tahriq ini terdiri dari 12 bab dan diawali dengan muqaddimah. 4 bab diantaranya merupakan intisari Tafsir Fi Zhilalil Qur'an, yaitu; طبيعة المنهج القراني (Karakter Manhaj Al-Qur'an), التصور الإسلامي والثقافة (Pandangan Islam dan Kebudayaan), الجهاد في سبيل الله (Jihad fii Sabiilillah), dan نشأة المجتمع المسلم وخصائصه (Tumbuhnya Masyarakat Muslim dan Karakteristiknya). Sementara 8 bab lain merupakan bab yang perlu dituliskan Sayyid Qutb untuk memperjelas dan memperkuat inti sari itu di samping untuk memenuhi tujuan utama buku ini ditulis. Yakni, sebagai petunjuk jalan yang akan dilalui para pioner kebangkitan umat, yang juga akan ditunjukkan kepada umat. Dengan adanya pioner inilah umat akan bangkit. Dengan eksisnya umat Islam inilah tugas manusia sebagai khalifah dan abdullah serta peran umat Islam sebagai ummatan daa'iyan dan ummatan syaahidan bisa diimplementasikan. Dengan demikian, kepemimpinan barat yang rapuh karena tidak memiliki "nilai-nilai" yang membuatnya layak memimpin akan diambil alih oleh umat Islam.
Jika pioner kebangkitan umat menginginkan keberhasilan sebagaimana keberhasilan generasi pertama, mereka harus meneladani karakter mereka. Oleh Sayyid Qutb mereka disebut جيل قراني فريد (Generasi Qur'ani yang Istimewa), yang juga dijadikan judul bab setelah muqaddimah. Ada 3 faktor utama keberhasilan generasi ini; sumber rujukannya adalah Al-Qur'an dan steril dari pengaruh manhaj lain, mereka mempelajari Al-Qur'an untuk mengamalkan/mengaplikasikan, dan saat mereka masuk Islam dan mendapat Al-Qur'an seketika mereka melepas seluruh kejahiliyahan.
Al-Qur'an telah mengajarkan jalan dakwah bagi generasi pertama umat ini, جيل قراني فريد (Generasi Qur'ani yang Istimewa). Dan manhaj Al-Qur'an dalam dakwah ini seharusnya diikuti oleh para pioner kebangkitan umat. Bagaimana karakteristiknya? Sayyid Qutb menjelaskan bahwa jalan pertama adalah pembinaan aqidah. Inilah yang serius dilakukan selama 13 tahun fase Makkiyah, dan Al-Qur'an tidak melompat pada pembahasan lain, apalagi masalah cabang/furu'iyah. Ini pula yang dijadikan seruan dakwah oleh Rasulullah, meskipun peluang mendapatkan perlawanan lebih besar dari pada dakwah lain. Rasulullah tidak mendakwahkan nasionalisme Arab, tidak pula keadilan sosial dan perbaikan moral. Meskipun ketiga hal terakhir ini peluangnya lebih besar untuk didukung orang-orang Arab, tetapi ia bisa menjadi tuhan baru atau bersifat rapuh. Sedangkan aqidah, tauhid, ia akan terpatri kuat memberi daya dorong yang hebat, di samping itulah kebenaran hakiki yang harus menjadi pondasi setiap perubahan.
Perubahan yang terjadi karena tauhid adalah perubahan revolusioner pada diri seseorang atau bangunan umat. Sebab perubahan Islam berarti peralihan dari mengikuti manhaj makhluk menuju manhaj Pencipta. Perubahan Islam berarti meninggalkan sistem produk manusia untuk memilih sistem ciptaan Allah. Perubahan Islam berarti mencampakkan hukum buatan hamba untuk merengkuh dan mengaplikasikan hukum Allah. Perubahan inilah yang akan memuliakan manusia, serta membawa mereka menuju rahmat, setelah hidup penuh dengan kehinaan dan kelemahan.
Pioner umat yang akan melakukan misi perubahan revolusioner ini harus percaya diri dengan manhajnya; manhaj Islam, manhaj Al-Qur'an. Maka, persoalan jihad juga harus diterima apa adanya sebagaimana konsep Al-Qur'an yang telah dijelaskan Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur'an saat menafsirkan surat Al-Anfal dan At-Taubah. Intinya, jihad bukan defensif, tetapi ofensif. Manhaj yang sama seperti dipahami Ibnul Qayyim dalam Zaadul Maad. Saat dakwah dihalangi oleh kekuatan politik atau kekuasaan, maka jihad harus menetralisir kekuatan itu sehingga dakwah bebas disebarkan. Konsep inilah yang ditakuti oleh musuh-musuh Islam termasuk Inggris pada waktu itu sehingga mereka memesan kematian Sayyid Qutb kepada pemerintahan Gamal Abdul Nasir.
Kekeliruan
Ma'alim fi Ath-Thariq adalah buku yang luar biasa. Namun, bukan berarti ia tidak lepas dari kekeliruan. Tulisan Sayyid Qutb dalam bab لااله الا الله منهج حياة (Laa ilaaha Illallah Manhaj Kehidupan) yang membagi manusia menjadi masyarakat Islam dan masyarakat jahiliyah, lalu menyatakan bahwa masyarakat sekarang (saat Ma'alim fi Ath-Thariq ditulis) semuanya masyarakat jahiliyah merupakan sebuah kekeliruan. Tetapi, jika kita mengetahui latar belakang kondisi dan situasi saat Sayyid Qutb menulis buku ini, kita akan bisa memaklumi kekeliruan ini terjadi. Dan, jika kita membandingkannya dengan Fi Zhilalil Qur'an, tampak bahwa ini sebatas kekeliruan, bukan manhaj takfir sebagaimana yang dituliskan orang-orang yang membencinya.
Ilham?
Tulisan Sayyid Qutb dalam bab terakhir هذا هو الطريق (Inilah Jalan Itu) seakan-akan seperti ilham yang dianugerahkan Allah SWT bahwa ia hidup tidak lama lagi. Tiang gantungan telah menunggunya. Dalam bab ini ia mengakhiri buku terakhirnya ini dengan menjelaskan bahwa para pekerja Allah bukan penentu hasil, mereka hanya perlu beramal. Bisa jadi mereka mendapatkan kemenangan dan berkuasa untuk menegakkan dinullah, bisa jadi ia seperti kisah ashaabul ukhdud; mati namun keimanan telah menyebar, kemenangan hakiki di sisi Allah SWT.
Maka, para pekerja Allah pasti mendapatkan 4 hal. Pertama, hasil di dunia berupa ketentraman hati, perasaan bangga, bebas dari tarikan dan ikatan, takut dan bimbang. Kedua, saat meninggalkan dunia berupa sanjungan dari malaikat dan kehormatan. Ketiga, di akhirat ia mendapatkan hisab yang mudah dan kenikmatan yang besar. Keempat, ridha Allah SWT.
(Tulisan ini disarikan dari Bedah Buku معالم في الطريق oleh penulis pada 20 Ramadhan 1430 H di Masjid KH. Faqih Usman, UMG. Bagi yang ingin mendownload buku معالم في الطريق silahkan KLIK DI SINI)
sumber :
http://muchlisin.blogspot.com/2009/10/download-review-maalim-fi-ath-thariq.html
Assalamu'alaikum wr,..
BalasHapusYg versi bah. Indonesia, ada e-book nya gak,..??