Jika kita memasuki Newseum dan memulai tour di lantai atas tingkat enam, pemandangan pertama yang disajikan pada para pengunjung musium berita di Washington DC ini adalah front page atau cover depan media massa dari seluruh dunia yang terbit hari itu. Setiap hari, display di ruangan ini berubah, menyesuaikan front page yang dikirim dari seluruh dunia yang dianggap menarik untuk di pajang di dinding museum.
Dari Indonesia, hanya satu front page yang dikirim ke Newseum, Media Indonesia. Padahal kita memiliki tak kurang dari 20 koran yang terbit dan beredar secara nasional. Ada halaman depan koran dari Brunei, sampai Burundi dari Kairo sampai Kuba. Pada hari ahad lalu (14/03), front page yang diterima oleh Newseum sebanyak 589 cover depan koran dari 56 negara dari seluruh dunia. Newseum adalah sebuah musium modern di tengah kota Washington yang menghimpun tentang sejarah pers dan media dari seluruh dunia, wabil khusus Amerika. Mulai dari mesin ketik, sampai dengan foto-foto jurnalis yang meninggal dari seluruh dunia, terhimpun di tempat ini.
Di luar gedung, salju mulai turun. Seolah memberikan empati pada masa depan koran cetak yang kian hari kian menurun dengan pasti. Pemandangan di dalam Newseum, di dinding front page yang menggambarkan masa-masa kegemilangan koran cetak, bisa jadi akan segera berakhir. Karena internet dengan social media yang berkembang seperti facebook, youtube, twitter, flickr, blogspot, wordpress dan berbagai media sosial lainnya telah memberikan pukulan telak pada industri media konvensional.
Industri ini sedang terhuyung-huyung di dalam ring tinju, menjelang dikanvaskan oleh ciptaan yang mereka besarkan sendiri: internet! “Jika Anda punya jalan keluar untuk mengatasi masalah ini, jual saja pada Rupert Murdoch. Anda bisa jadi orang kaya,” kata Gene Mater, International Program Manager Freedom Forum.
Sebenarnya, pertemuan dengan Gene Mater, lelaki berusia lebih dari 60 tahun dan sudah sangat matang di dunia media ini membahas tentang masalah jaminan kebebasan informasi. Dalam program belajar Investigative Reporting untuk beberapa wartawan Indonesia dalam International Visitor Leadership Program. Di beberapa negara berkembang, kebebasan informasi sering tertabrak oleh pengekangan, kekuasaan dan regulasi tiran. Tapi menurutnya, ada tantangan yang lebih berkuasa dari regulasi tiran untuk membungkam, bahkan membunuh media dan itu adalah peralihan publik pembaca ke media internet yang kian tak terbendung kesaktiannya.
”Ini yang disebut dengan nama creative destruction. Kreativitas yang kita ciptakan sendiri, kita kembangkan, kita besarkan, lalu secara pasti akan membunuh kita pada akhirnya. Saya tidak banyak menggunakan internet, sejujurnya saya tak terlalu pandai menggunakan komputer. Tapi saya paham betul tantangan yang muncul dari keduanya pada industri media konvensional,” terangnya.
Menurutnya, ada sebuah media besar di Amerika Serikat yang tadinya memuat motto news and education, salah satu alasannya karena media ini bergerak di dua bidang bisnis; lembaga pendidikan dan kantor berita. Tapi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, lini pendidikan lebih banyak memberikan untung. Sedangkan media, justru menampakkan kecenderungan turun. Karena itu, kabar terakhir motto berita dihilangkan dalam tagline dan diganti hanya dengan kata pendidikan saja.
The Giant Killers
Dihampir semua tempat, di banyak media yang kami kunjungi, keluhan yang sama muncul ke permukaan. Bahkan, koran sekelas The New York Times mengumumkan dalam waktu dekat akan mengutip pembayaran dari divisi online yang mereka miliki. Tapi belum tahu bagaimana caranya dan berapa besarnya. Kantor berita CNN, yang berbasis gambar dan langganan kabel, juga mendapatkan dampak yang sama dari internet lewat social media dan juga jutaan blog yang tersebar di dunia maya.
In the near future, you don’t need to find the news. The news will find you. Itulah yang terjadi, tidak lama lagi bukan kita yang mencari berita tapi berita yang akan menemukan kita di manapun kita berada. Dalam kadar tertentu, semua ini sudah terjadi dengan fenomena facebook, twitter, youtube, flicker, myspace, skype, bebo, digg dan banyak lagi.
Jika diinternet kita bisa mendapatkan semuanya dengan lebih cepat, interaktif dan sesuai kebutuhan kita dengan gratis, mengapa kita perlu bayar untuk membeli koran cetak dan harian?
Bahkan, dengan nama besar Washington Post yang memiliki reputasi tersendiri dalam investigative journalism, tak mampu membalikkan situasi. Sampai hari ini, dalam dunia jurnalistik, terutama yang mendalami bidang investigasi, nama Washington Post masih menjadi semacam legenda. Dengan dua jurnalisnya, Bob Woodward dan Carl Bernstein yang menurunkan sebuah laporan tentang Watergate mampu berdampak pada mundurnya Presiden Amerika, Richard Nixon.
”Kondisi yang sulit juga kami hadapi di sini, tak ada yang tak terdampak dengan kekuatan internet yang kita besarkan sendiri,” ujar Jeef Leen, Assistant Maganing Editor Investigations Washington Post. Jurnalisme investigasi yang kerap dianggap sebagai mahkota dunia pers, tak sanggup menolong kondisi yang terus memburuk juga bagi Washington Post.
Di Washington Post kami mempelajari dan mengajukan berbagai pertanyaan tentang investigasi. Mulai dari teknik mengajukan pertanyaan, mencari deep throut, memperoleh data yang dibutuhkan, melakukan pendekatan kepada sumber-sumber yang diperlukan serta berbagai keahlian investigatif lainnya. Tapi tetap saja, selain subyek tersebut, pembicaraan tentang masa depan jurnalis yang bekerja diranah cetak menjadi topik yang menarik.
Sudah banyak korban berjatuhan dan tak sedikit wartawan yang sudah menjadi jobless di Amerika karena perkembangan ini semua. Dalam hitungan waktu kurang dari 20 tahun, Internet sudah menjadi the giant killer bagi dunia media yang sudah eksis beratus-ratus tahun. Bahkan kini muncul gejala baru untuk mencari jalan keluar dari masalah ini. Sedang dirintis semacam Donations Journalism untuk mempertahankan eksistensi media.
Ini semua karena pendapatan berdasarkan penjualan oplagh dan juga pemasangan pasar iklan terus menurun. Andrew Davis, President American Press Institute kepada kami menjelaskan dengan detil apa sesungguhnya problem yang sedang dihadapi dunia pers konvensional hari ini. American Press Institute adalah semua lembaga yang didanai oleh berbagai media di Amerika Serikat, dan juga filantropi perorangan untuk meneliti dan menemukan resolusi bagi dunia media.
Pendapat iklan misalnya, setiap tahun menurut data American Press Institute selalu menunjukkan trend menurun. Total print advertising revenue tahun 2000 di Amerika menunjukkan angka, $ 48,7 milyar. Lima tahun setelah itu, tepatnya akhir tahun 2007 angka dolar yang dibelanjakan untuk pemasangan iklan cetak di media Amerika menjadi $ 42,2 milyar. Dan tahun 2008, belanja iklan yang dibukukan hanya sekitar $ 34,7 milyar.
“Dunia memang sedang berubah,” katanya. Termasuk tradisi dan cara orang mencari serta menyajikan berita. Dulu, editor dan wartawan yang memilih berita. Sekarang, dengan internet dan social media, konsumen sendiri yang menentukan berita apa yang diperlukan dan yang ingin mereka baca. Bahkan, sebagian besar dari mereka membuat berita sendiri tentang berbagai peristiwa dengan blog dan situs-situs yang jumlahnya lebih dari 200.000.000. Dulu komunitas dikategorikan secara demografis, sekarang pembaca dikategorikan berdasarkan definisi virtual yang selalu berkembang. Dulu hanya ada satu sumber untuk informasi. Tapi kini, berita datang berbagai sumber, bahkan dalam beberapa kasus tertentu datang langsung dari sumber berita.
Ada fakta-fakta menarik tentang social media seperti facebook, twitter, youtube, bebo, digg, myspace dan yang lainnya dalam pengaruhnya pada kehidupan manusia modern yang tak bisa dipisahkan internet. Lihat saja, delapan pasangan yang menikah di Amerika, satu di antaranya menemukan pasangannya lewat social media. Radio, perlu waktu 38tahun untuk meraih 50 juta pendengarnya, televisi perlu waktu 13 tahun untuk merebut pemirsa, internet hanya perlu waktu empat tahun saja untuk menggaet 50 juta orang pengguna. IPOD malah lebih sadis lagi, tiga tahun saja. Sementara facebook, hanya dalam waktu sembilan bulan telah mendaftar 100 juta manusia dari seluruh dunia sebagai anggotanya. Bahkan, jika facebook dicatat sebagai negara, situs ini menempati urutan ketiga dengan jumlah penduduk terbesar di dunia setelah setelah Cina dan India. Indonesia berada di urutan keempat, pengguna facebook jauh lebih banyak dari seluruh penduduk Indonesia.
Youtube sudah menjadi semacam universitas maya tempat banyak orang belajar banyak hal. University of Youtube. Mulai dari memasak, main gitar, mengirit kartu kredit sampai urusan ranjang dan kampanye pemilihan. Tentu saja, masih banyak hal negatif yang ada di luar sana, tapi hal yang positif juga tak terhitung jumlahnya.
Bahkan, twitter menjadi demam baru yang tak kunjung reda gejalanya. Followers Ashton Kutcher dan Ellen DeGeneres di twitter bahkan melebihi populasi penduduk Irlandia, Norwegia dan Panama. Coba saja bayangkan, penggemar seorang bintang bisa mengalahkan jumlah penduduk sebuah negara berkat social media.
Bahkan Wikipedia telah menjadi eksiklopedia raksasa yang masih akan terus bertambah besar jumlah artikelnya, mengalahkan ensiklopedi Americana, Britania, Encarta dan ensiklopedia konvensional lainnya. Wiki diambil dari bahasa Hawaii yang berarti cepat. Kini telah menampung lebih dari 13 juta artikel tentang banyak hal. Bahkan menurut salah satu studi, Wikipedia malah lebih akurat dibandingkan Britannica. Sebanyak 78% artikelnya tidak ditulis dalam bahasa Inggris, artinya ini adalah ensiklopedia paling kaya di dunia.
Merebut Hati Pembaca
Sebetulnya, media Amerika belum sembuh benar dari luka-luka kredibilitas yang terjadi akibat Perang Afghanistan atau Perang Irak. Besar atau kecil, media dilihat oleh publik Amerika turut terlibat dalam terjadinya perang, terutama di Irak. Pidato Menteri Pertahanan Amerika di zaman George Bush, Collin Powell di depan sidang umum PBB tentang senjata pemusnah massal yang dimiliki Irak, telah mendorong terjadinya perang. Dengan tertatih-tatih, media mulai membangun reputasinya lagi.
Tapi semua orang sedang berlomba dengan waktu, sekarang. Tak ada banyak waktu yang tersisa, internet dan social media berkembang dengan pesatnya. Jika sudah terjadi di Amerika Serikat, dalam waktu yang tak akan lama lagi juga akan terjadi di Indonesia. Dunia sudah tanpa batas, sekarang. Apa yang bisa kita pelajari dari kejadian-kejadian, baik yang negatif maupun yang positif, harus kita ambil hikmah dan manfaatnya.
Masyarakat pembaca semakin pintar, dan tak bisa lagi didikte oleh editor, redaktur, bahkan wartawan atau penulis-penulis yang tidak memegang teguh nilai-nilai mulia yang menjadi common value bersama pembaca. Pembaca dengan sangat kejam akan meninggalkan media. Sementara pengelola media masih ternina-bobokan oleh fakta-fakta kusam tentang pembaca fanatik yang telah berhasil dibangunnya bertahun-tahun silam.
Jika setuju, sesungguhnya sudah tak ada lagi pembaca fanatik hari ini, begitu juga tak ada pendengar atau pemirsa fanatik. Pembaca, pendengar atau pemirsa, dengan sangat mudah akan meninggalkan media di depan mereka. Satu-satunya jaminan yang mampu menyita hati pembaca, setidaknya untuk sementara adalah, kualitas dan karakter media yang berpihak pada kebenaran dan kebaikan. Selamanya, pembaca akan mencari tahu tentang kebenaran dan kebaikan, meski itupun sudah sangat relatif sifatnya.
Dan semua yang siap selalu akan menjadi yang bisa selamat. Sebab, hukum alam selalu sama. Tantangan bisa berarti krisis bagi seseorang, tapi bagi orang lain justru menjadi peluang. Kita yang mana?
www.sabili.co.id
0 komentar:
Posting Komentar